Berbicara
mengenai perceraian, di dalam agama bukan sesuatu yang dilarang namun juga
bukan sesuatu yang dianjurkan, tetapi lebih baik dihindarkan. Sejatinya yang
menjadi korban dari perceraian adalah anak dan pihak keluarga dari masing-masing
pihak, disini saya akan membahas mengenai akibat dari perceraian yang
berdasarkan dari pengalaman seseorang.
Awalnya
pernikahan ini baik-baik saja sampai akhirnya mereka di karuniakan satu orang
anak yang berjenis kelamin laki-laki, anak itu terlahir dengan fisik yang
sempurna, wajahnya tampan nan lucu, orangtua dan keluarganya sangat bahagia
menyambut kehadirannya. 5 tahun berselang keluarga mereka kembali berbahagia
karena istri beliau diberi kepercayaan untuk kembali mengandung buah cintanya,
dari sinilah mulai permasalahan selama istri beliau mengandung anak kedua,
segala perhatiannya hanya tercurah kepada janin yang di kandungnya, sedangkan
anak pertamanyatidak mendapatkan perhatian sama sekali, ayah sibuk bekerja dan
ibunya sibuk santai-santai dirumah bermanja dengan masa-masa kehamilan
keduanya. Bulan demi bulan berlalu tak terasa waktu persalinan pun tiba, saat
itu persalinan dilakukan dengan proses cessar dan Alhamdulillah baby yang lahir
dengan selamat itu berjenis kelamin perempuan, baby baru sudah lahir segala
perhatian tercurahkan untuk baby kedua mereka tersebut, dan nasib anak pertama
mereka jadi terabaikan, anak bersusia 5 tahun main dari pagi sampai malam tidak
dicariin, setiap pulang kerumah hanya diberi uang entah dia sudah makan atau
belum ibunya seakan tak peduli dengan hal itu.
Hari
semakin berlalu sampai tiba saatnya kelakuan “aneh” dari sangat anak pertama
pun terlihat dari mulai ucapannya nya yang selalu berbicara “kotor”, gerak
tubuhnya yang kadang suka membenturkan kepala sendiri ke tembok, kadang pula
tangan setiap memegang benda seperti lemas dan tak bertenaga, akhirnya sang
ayah pun memutuskan untuk membawanya ke ahli saraf, dari vonis dokter awalnya
adalah hipper aktif , kemudian dikasih obat tapi bukannya tambah baik tetapi
malah semakin parah kelakuannya, dan kembali diperiksa lagi tetapi vonisnya
kali ini beda yaitu salah satu penyakit yang menyerang saraf tapi saya pribadi
lupa nama penyakitnya apa, kata dokter anak itu sulit untuk disembuhkan dan
mungkin tidak akan bisa sembuh seperti semula, obat yang diberikan hanya
bersifat meringankan tidak menyembuhkan. Saat itu ayahnya sangat terpukul
tetapi semakin dilihat tidak ada perubahan yang signifikan dari efek obat maka
pemberian obat pun dihentikan, hal yang membuat saya miris adalaah saat
orangtuanya sudah tau anak mereka memiliki “kebutuhan khusus” mereka malah
seakan tidak mempedulikannya, bahkan secercah perhatian pun tidak dirasakan
anak itu sama sekali.
Anak
itu tumbuh dan berkembang tanpa adanya kasih sayang dari kedua orangtuanya, ayah
dan ibunya hanya memperhatikan anaknya yang perempuan itu saja, sedih pasti hal
itu terlihat saat anak itu begitu iri dengan adiknya yang setiap minta apa-apa
selalu dituruti oleh kedua orangtuanya dan tanpa sadar terlalu sering ia
melakukan hal-hal yang mengundang perhatian dari kedua orangtua nya. Waktu
semakin berlalu kedua anak mereka pun sudah tumbuh besar, yang paling besar
menginjak usia 11 tahun dan si kecil berusia 6 tahun, saat ini konflik-konflik
mulai bermunculai dimulai dari sang istri yang selalu berpergian dan pulang
malam, puncaknya di 1 tahun berikutnya tepatnya saat memasuki bulan ramadhan,
sang ayah menitipkan anaknya yg kecil kerumah ibunya, ternyata saat ini konflik
yang besar sedang terjadi dirumah tangga mereka, sang suami pun mengetahui
kalau istrinya selingkuh dengan pria lain dan akhirnya ia pun memutuskan untuk
menceraikan istrinya. Singkat cerita mereka akhirnya mereka bercerai dan saya
pribadi fikir anak-anak mereka sangat mengalami guncangan yang besar di psikis
nya tapi saat melihat anak-anaknya mereka tetap have fun danbermain dengan rasa
yang penuh suka cita.
Sampai
pada akhirnya saya memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengan anak
perempuan nya, saya memang tidak ada background sebagai psikolog tapi sedikit
saya pernah belajar mengenai psikologi, obrolan saya dengan anaknya santai
diselingi dengan canda tawa, dengan begitu saya ingin membuatnya nyaman untuk
bercerita apapun yang ia rasain kepada saya. Ia bercerita kalau ia sebenarnya
ingin orangtua nya hidup rukun, tidak ada pertengkaran dan perhatian sama kakak
dan dirinya, dia juga mengatakan kalau dia ingin kakanya sembuh dari
penyakitnya, dia ingin kalau ayahnya kerja kakaknya bisa menjaganya dirumah,
bisa nganterin sekolah, bisa main sepeda berdua, bisa cerita-cerita bareng, ah
saat mendengar ceritanya rasanya air mata ini ingin pecah tapi aku malu
denganya di setiap kesedihan yang ia rasakan tetapi ia menceritakannya dengan
senyum-senyum penuh bahagia mengungkapkan harpannya. Selain itu ia juga
bercerita kalau ibunya suka menjelek-jelakan ayahnya di depan dirinya, padahal
ibunya yang salah tapi malah menyalahkan ayah.
Dari
sini kita belajar jika masih bisa diperbaiki lebih baik perceraian itu jangan
dilakukan, jika kita tidak bisa bertahan untuk pasangan, cobalah bertahan untuk
anak. Sekcil apapun luka yang tergores dihati sang anak itu tidak akan pernah
hilang oleh waktu. Terkadang kita orang dewasa seakan buta dengan apa yang
dirasakan oleh anak-anak, kita terlalu sibuk dengan urusan sendiri tanpa ada
sedikitpun rasa perhatian terhadap anak. Apalagi saat ini banyak ibu yang
menjadi wanita karier, saat ibu bekerja anaknya dititipkan oleh neneknya atu
bahkan pembantunya, miris sih mereka megatasnamakan kerja untuk anak tapi tugas
mereka sebagai ibu dilakasanakan dengan baik. Kembali ke cerita lagi, saya juga
pernah berbicara dengan anak yang ayah dan ibunya bekerja kantoran, anak itu
berusia sekitar 5 tahun dan dia mengatakan “kak, suapin aku dong dan abis itu
ajarin aku nulis ya” dan aku pun menjawab “kenapa mau disuapin? Belajar
nulisnya nanti malem aja sama bunda” anak kecil itu oun berkata “aku kan gak
pernah disuapin sama bunda, terus kalo pulang kerja bunda langsung
bersih-bersih terus tidur gak ngajarin aku deh”, and then itu buat hati saya
terenyuh sejatinya perhatian kecil yang kita beri kepada buah hati begitu
sangat berharga untuk dirinya, mereka tidak butuh maianan, baju-baju bagus,
sepatu mewah, tapi mereka hanya menginginkan perhatian dari kedua orang tuanya
tertutama sang ibu.
Saat
memutuskan untuk menikah sebagai seorang wanita dedikasikan diri kita untuk
suami dan anak masalah karier lupakanlah, tugas kita adalah menjadi istri yang
berbakti untuk suami dan madrasah pertama bagi anak-anak kita, biarlah tugas
untuk mencari nafkah kita percayakan pada sang suami, memberi nafkah adalah
kewajiban suami tetapi tidak lupa istri dan anak juga membutuhkan kasih sayang
serta perhatian dari suami dan ayahnya. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang
baik untuk anak-anak kita, menjadikan keluarga tujuan untuk mencapai surga dan
mampu menangani stiap permasalahan yang ada di dalam kehidupan rumah tangga.