Sabtu, 26 Desember 2015

Broken home, Haruskah ??


Berbicara mengenai perceraian, di dalam agama bukan sesuatu yang dilarang namun juga bukan sesuatu yang dianjurkan, tetapi lebih baik dihindarkan. Sejatinya yang menjadi korban dari perceraian adalah anak dan pihak keluarga dari masing-masing pihak, disini saya akan membahas mengenai akibat dari perceraian yang berdasarkan dari pengalaman seseorang.
Awalnya pernikahan ini baik-baik saja sampai akhirnya mereka di karuniakan satu orang anak yang berjenis kelamin laki-laki, anak itu terlahir dengan fisik yang sempurna, wajahnya tampan nan lucu, orangtua dan keluarganya sangat bahagia menyambut kehadirannya. 5 tahun berselang keluarga mereka kembali berbahagia karena istri beliau diberi kepercayaan untuk kembali mengandung buah cintanya, dari sinilah mulai permasalahan selama istri beliau mengandung anak kedua, segala perhatiannya hanya tercurah kepada janin yang di kandungnya, sedangkan anak pertamanyatidak mendapatkan perhatian sama sekali, ayah sibuk bekerja dan ibunya sibuk santai-santai dirumah bermanja dengan masa-masa kehamilan keduanya. Bulan demi bulan berlalu tak terasa waktu persalinan pun tiba, saat itu persalinan dilakukan dengan proses cessar dan Alhamdulillah baby yang lahir dengan selamat itu berjenis kelamin perempuan, baby baru sudah lahir segala perhatian tercurahkan untuk baby kedua mereka tersebut, dan nasib anak pertama mereka jadi terabaikan, anak bersusia 5 tahun main dari pagi sampai malam tidak dicariin, setiap pulang kerumah hanya diberi uang entah dia sudah makan atau belum ibunya seakan tak peduli dengan hal itu.
Hari semakin berlalu sampai tiba saatnya kelakuan “aneh” dari sangat anak pertama pun terlihat dari mulai ucapannya nya yang selalu berbicara “kotor”, gerak tubuhnya yang kadang suka membenturkan kepala sendiri ke tembok, kadang pula tangan setiap memegang benda seperti lemas dan tak bertenaga, akhirnya sang ayah pun memutuskan untuk membawanya ke ahli saraf, dari vonis dokter awalnya adalah hipper aktif , kemudian dikasih obat tapi bukannya tambah baik tetapi malah semakin parah kelakuannya, dan kembali diperiksa lagi tetapi vonisnya kali ini beda yaitu salah satu penyakit yang menyerang saraf tapi saya pribadi lupa nama penyakitnya apa, kata dokter anak itu sulit untuk disembuhkan dan mungkin tidak akan bisa sembuh seperti semula, obat yang diberikan hanya bersifat meringankan tidak menyembuhkan. Saat itu ayahnya sangat terpukul tetapi semakin dilihat tidak ada perubahan yang signifikan dari efek obat maka pemberian obat pun dihentikan, hal yang membuat saya miris adalaah saat orangtuanya sudah tau anak mereka memiliki “kebutuhan khusus” mereka malah seakan tidak mempedulikannya, bahkan secercah perhatian pun tidak dirasakan anak itu sama sekali.
Anak itu tumbuh dan berkembang tanpa adanya kasih sayang dari kedua orangtuanya, ayah dan ibunya hanya memperhatikan anaknya yang perempuan itu saja, sedih pasti hal itu terlihat saat anak itu begitu iri dengan adiknya yang setiap minta apa-apa selalu dituruti oleh kedua orangtuanya dan tanpa sadar terlalu sering ia melakukan hal-hal yang mengundang perhatian dari kedua orangtua nya. Waktu semakin berlalu kedua anak mereka pun sudah tumbuh besar, yang paling besar menginjak usia 11 tahun dan si kecil berusia 6 tahun, saat ini konflik-konflik mulai bermunculai dimulai dari sang istri yang selalu berpergian dan pulang malam, puncaknya di 1 tahun berikutnya tepatnya saat memasuki bulan ramadhan, sang ayah menitipkan anaknya yg kecil kerumah ibunya, ternyata saat ini konflik yang besar sedang terjadi dirumah tangga mereka, sang suami pun mengetahui kalau istrinya selingkuh dengan pria lain dan akhirnya ia pun memutuskan untuk menceraikan istrinya. Singkat cerita mereka akhirnya mereka bercerai dan saya pribadi fikir anak-anak mereka sangat mengalami guncangan yang besar di psikis nya tapi saat melihat anak-anaknya mereka tetap have fun danbermain dengan rasa yang penuh suka cita.
Sampai pada akhirnya saya memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengan anak perempuan nya, saya memang tidak ada background sebagai psikolog tapi sedikit saya pernah belajar mengenai psikologi, obrolan saya dengan anaknya santai diselingi dengan canda tawa, dengan begitu saya ingin membuatnya nyaman untuk bercerita apapun yang ia rasain kepada saya. Ia bercerita kalau ia sebenarnya ingin orangtua nya hidup rukun, tidak ada pertengkaran dan perhatian sama kakak dan dirinya, dia juga mengatakan kalau dia ingin kakanya sembuh dari penyakitnya, dia ingin kalau ayahnya kerja kakaknya bisa menjaganya dirumah, bisa nganterin sekolah, bisa main sepeda berdua, bisa cerita-cerita bareng, ah saat mendengar ceritanya rasanya air mata ini ingin pecah tapi aku malu denganya di setiap kesedihan yang ia rasakan tetapi ia menceritakannya dengan senyum-senyum penuh bahagia mengungkapkan harpannya. Selain itu ia juga bercerita kalau ibunya suka menjelek-jelakan ayahnya di depan dirinya, padahal ibunya yang salah tapi malah menyalahkan ayah.
Dari sini kita belajar jika masih bisa diperbaiki lebih baik perceraian itu jangan dilakukan, jika kita tidak bisa bertahan untuk pasangan, cobalah bertahan untuk anak. Sekcil apapun luka yang tergores dihati sang anak itu tidak akan pernah hilang oleh waktu. Terkadang kita orang dewasa seakan buta dengan apa yang dirasakan oleh anak-anak, kita terlalu sibuk dengan urusan sendiri tanpa ada sedikitpun rasa perhatian terhadap anak. Apalagi saat ini banyak ibu yang menjadi wanita karier, saat ibu bekerja anaknya dititipkan oleh neneknya atu bahkan pembantunya, miris sih mereka megatasnamakan kerja untuk anak tapi tugas mereka sebagai ibu dilakasanakan dengan baik. Kembali ke cerita lagi, saya juga pernah berbicara dengan anak yang ayah dan ibunya bekerja kantoran, anak itu berusia sekitar 5 tahun dan dia mengatakan “kak, suapin aku dong dan abis itu ajarin aku nulis ya” dan aku pun menjawab “kenapa mau disuapin? Belajar nulisnya nanti malem aja sama bunda” anak kecil itu oun berkata “aku kan gak pernah disuapin sama bunda, terus kalo pulang kerja bunda langsung bersih-bersih terus tidur gak ngajarin aku deh”, and then itu buat hati saya terenyuh sejatinya perhatian kecil yang kita beri kepada buah hati begitu sangat berharga untuk dirinya, mereka tidak butuh maianan, baju-baju bagus, sepatu mewah, tapi mereka hanya menginginkan perhatian dari kedua orang tuanya tertutama sang ibu.

Saat memutuskan untuk menikah sebagai seorang wanita dedikasikan diri kita untuk suami dan anak masalah karier lupakanlah, tugas kita adalah menjadi istri yang berbakti untuk suami dan madrasah pertama bagi anak-anak kita, biarlah tugas untuk mencari nafkah kita percayakan pada sang suami, memberi nafkah adalah kewajiban suami tetapi tidak lupa istri dan anak juga membutuhkan kasih sayang serta perhatian dari suami dan ayahnya. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita, menjadikan keluarga tujuan untuk mencapai surga dan mampu menangani stiap permasalahan yang ada di dalam kehidupan rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar